Opini

471

Menongkah Pemilu 2024 (2-)

Pejabat Administrator “Organik” Oleh Ilham Muhammad Yasir*,--- “Meski perpisahan itu adalah kenyataan yang sulit diterima namun itu adalah konsekuensi dari suatu perjumpaan” TIGA tahun berturut-turut, KPU Provinsi Riau harus kehilangan dan melepaskan 3 orang pegawai ASN seniornya. Mereka kebetulan menempati posisi yang strategis sebagai kepala bagian yang berada langsung di bawah sekretaris, selaku kepala kesekretariatan. Ketiga pejabat administrator (penyebutan sesuai UU ASN) untuk jabatan struktural kepala bagian ini bersingungan langsung dengan kami di anggota KPU, terutama yang selama ini membantu memperkuat kerja-kerja teknis kepemiluan. Terutama di divisi yang dikoordinatori oleh masing-masing setiap anggota KPU. Bahkan mereka punya pengalaman di KPU sejak Pemilu 2009, Pemilu 2014, dan Pemilu 2019. Begitu pula di pemilihan gubernur 2008, 2013, dan 2018. Namun, mereka harus mengakhiri kebersamaan di KPU, karena memasuki panggilan usia pensiun. Mereka harus kembali  berkumpul sepenuh waktunya untuk keluarga masing-masing. Adapun ketiga pejabat administrator itu  adalalah Kepala Bagian Hukum dan Teknis, Abdul Manaf, SH, MSi yang pensiun di awal bulan Maret 2020. Kemudian ada Kepala Bagian Keuangan, Umum dan Logistik, Drs Kamirin Land, MSi yang memasuki pensiun pada awal bulan Februari 2021. Selanjutnya, Kepala Bagian SDM, Perencanaan dan Data, Dra Hj Odeng Rahmadiani MH yang memasuki pensiun di awal bulan Maret 2022. "Terima kasih Bapak dan Ibu atas kebersamaan kita selama ini di KPU. Semoga selalu sehat dan selalu menjalin dan menjaga silaturahmi yang sudah terbina selama ini". Barangkali kalimat ini dapat mewakili ucapan kita semua untuk mereka yang sudah luar biasa mengabdikan tugasnya  hingga akhir di KPU. Teringat ada ungkapan orang bijak: “Meski perpisahan itu adalah kenyataan yang sulit diterima namun itu adalah konsekuensi dari perjumpaan”. Namun kita semua tentu tidak ingin terlalu larut. Kita harus menatap dan melangkah ke hadapan. Di depan kita sudah menanti Pemilu 2024. Tahapannya juga sudah hampir dimulai. Kita harus kembali menata dan menyesuaikan pola kerja dengan intensitas kerja yang tinggi. Perlu mencurahkan waktu serta pikiran yang lebih untuk setiap tahapan pemilu, seperti yang sebelum-sebelumnya. Syukurlah. Kekosongan para pejabat administrator ini segera terisi. Pengisian ini bersamaan penyesuaian KPU Riau yang saat ini statusnya naik menjadi tipe A. Jika sebelumnya yang kosong hanya 3 jabatan, dengan kenaikan tipe ini menjadi 4 jabatan administrator kepala bagian yang harus diisi. Yaitu kepala bagian keuangan, umum dan logistik; kepala bagian teknis penyelenggara pemilu, partisipasi dan hubungan masyarakat; kepala bagian SDM dan hukum; dan kepala bagian program, perencanaan dan data informasi. Keempat posisi ini diisi oleh para pegawai ASN organik KPU. Bahkan boleh dibilang anak-anak muda KPU, dari para ASN organik angkatan awal. ASN organik adalah penyebutan untuk ASN yang direkrut langsung oleh KPU Republik Indonesia. Untuk diketahui, pada saat pembentukan KPU permanen yang dimulai dari tahun 2003, untuk pengisian ASN di-kesekretariatan mulai di KPU Republik Indonesia (Pusat), KPU Provinsi, hingga KPU Kabupaten/Kota ‘dipinjami’ atau diperbantukan pegawai ASN di sejumlah kementerian. Sedangkan untuk di daerah diperbantukan pegawai ASN dari pemerintah daerah setempat masing-masing, di samping tenaga honorer yang direkrut KPU langsung pada waktu itu. Menurut catatan, rekrutmen pegawai ASN organik secara terbuka di KPU pertama kali diadakan tahun 2008, dan diangkat menjadi ASN awal tahun 2009. Setelah itu rekrutmen terbuka 2009, 2010, 2014 (dari honor K2), 2015, 2018, dan terakhir 2019. Mereka ini adalah dari pegawai ASN organik angkatan awal tersebut. Namun sebelumnya, sebenarnya juga sudah ada 2 kali pengangkatan ASN organik, tapi melalui jalur honorer, yaitu tenaga honorer yang spesifikasi latar belakang pendidikan dan masa pengabdiannya memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh KPU ketika itu. Mereka ini juga termasuk ASN organik KPU awal.    Kembali ke pengisian para pejabat administrator untuk kepala bagian di KPU Provinsi Riau ini. Tepat pada 5 Januari 2022 lalu, dipimpin langsung oleh Sekretaris Jenderal KPU RI, Drs Bernad Darmawan Soetrisno, MSi secara online empat ASN organik ini dilantik untuk jabatan administrator mengisi struktural posisi 4 kepala bagian di KPU Provinsi Riau. Mereka adalah Raja Syahreza, SKom, Kepala Bagian Perencanaan, Data dan Informasi; Nirson, SSos, Kepala Bagian Teknis Penyelenggara Pemilu, Partisipasi dan Hubungan Masyarakat, Efri Bobby Rafles, SIP, MSi, Kepala Bagian Keuangan Umum dan Logistik; dan Ricky Kurniawan, SSos, Kepala Bagian Hukum dan SDM. Dalam tulisan selanjutnya, kita akan coba mengenal serta mengulik profil dan latar belakang dari keempat kepala bagian ini secara lebih dekat dan dalam lagi. Selain itu, bersama mereka saat itu dilantik juga pejabat administrator untuk pengisian setingkat kepala bagian di lingkungan KPU Republik Indonesia, KPU Provinsi se- Indonesia lainnya, dan beberapa sekretaris di KPU kabupaten/kota. Satu di antaranya di Riau adalah Sekretaris KPU Kabupaten Bengkalis. Selain mengisi kekosongan pejabat administrator di KPU Provinsi Riau di atas, pengisian untuk pejabat pengawas untuk jabatan struktural kepala sub bagian juga baru saja terisi. Jika sebelumnya ada pejabat pengawas untuk 6 kepala sub bagian, menyesuaikan dengan tipe A yang ada jumlah kepala sub bagian saat ini disesuikan menjadi 8 kepala bagian. Tepatnya tanggal 11 Maret 2022 pekan lalu, 8 pejabat pengawas untuk pengisian struktural kepala sub bagian dilantik oleh Sekretaris KPU Provinsi Riau, Drs Rudinal B, MSi atas nama Sekretaris Jenderal KPU RI, Drs Bernad Darmawan Soetrisno, MSi. Bersamaan dengan mereka itu ada juga 47 pejabat pengawas yang dilantik untuk pengisin kepala sub bagian di 12 KPU Kabupaten/Kota di Riau, dan 2.026 di KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota se-Indonesia oleh masing-masing Sekretaris KPU Provinsi. Adapun kedelapan pejabat pengawas itu; Ira Yanita, SE, MSi, Kepala Sub Bagian Keuangan; Nasrul, SSos, Kepala Sub Bagian Umum dan Logistik; Mulyadi, SSos, MSi, Kepala Sub Bagian Teknis Penyeleggara Pemilu; Alfa Merry Delfita, SSos, MSi, Kepala Sub Bagian Partisipasi dan Hubungan Masyarakat; Dewi Silvia Ariani, SKom, MSi, Kepala Sub Bagian Perencanaan; Rizka Kurnia Sari, AMd, Kepala Sub Bagian Data dan Informasi; Sudarsono, SH, Kepala Sub Bagian Hukum; dan Nasrianto, SE, Kepala Sub Bagian SDM. Dengan pengisian para pejabat administrator dan pejabat pengawas, maka komplit sudah skuad KPU Provinsi Riau untuk menongkah bersama menghadapi tahapan Pemilu 2024. Tak terkecuali juga skuad di 12 KPU Kabupaten/Kota di Riau. Pengalaman anak-anak muda ini, dari generasi ASN organik angkatan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya yang sudah tunak akan sangat membantu sekali para anggota KPU menyukseskan penyelenggaraan Pemilu. Rata-rata mereka sudah pernah punya pengalaman ikut mendampingi pelaksanakan Pemilu 2009, 2014, dan 2019. Sebagian malah ada pula yang pernah ikut membantu (tenaga lepas) di KPU Provinsi Riau di Pemilu 2004. Semoga pelaksanaan tahapan Pemilu dan Pemilihan 2024 dapat kita kelola bersama dengan sebaik-baiknya.*** *Ilham Muhammad Yasir, SH, L.LM, adalah Ketua KPU Provinsi Riau periode 2019 – 2024 & sebagai anggota KPU Provinsi Riau periode 2014 - 2019.


Selengkapnya
148

Menongkah Pemilu 2024 (1-)

  *Menongkah Pemilu 2024 (1-) “Jabatan Sama Nama Beda” Oleh Ilham Muhammad Yasir[1],--- Sore itu, Paul Michail Hutabarat, SH (39) tampak begitu khidmat mengikuti proses acara pelantikan langsung pejabat pengawas di aula lantai dua KPU Provinsi Riau, Jumat (11/03). Ia berdiri di barisan depan. Mengenakan setelan jas warna biru gelap lengkap. Dipadu dengan peci dan dasi warna biru bergaris putih terlihat serasi. Ketika pengucapan sumpah jabatan yang dipimpin Sekretaris KPU Provinsi Riau, Drs Rudinal B, MSi, selain Paul ada Kurnia Arianto, SPd, MSi (54 ) di dampingi  rohaniawan masing-masing. PAUL mengisi kembali jabatan pengawas untuk struktural kepala sub bagian hukum dan SDM di KPU Kota Dumai. Sementara Kurnia kembali untuk jabatan pengawas untuk struktural yang sama data dan informasi di KPU Kota Pekanbaru. Paul, pria kelahiran Sei Pakning, 10 Februari 1982 ini menjabat jabatan itu sejak tahun 2020. Jabatannya sama, hanya nama penyebutannya yang berbeda. Sebagian ada pengabungan, dan sebagian lagi pemisahan. Bahkan sebagian penyebutannya tak dimunculkan, sekarang dimunculkan. Misalnya, untuk di KPU kabupaten/kota dulu penyebutannya kepala sub bagian hukum saja, sekarang menjadi kepala sub bagian hukum dan SDM. Sebelumnya SDM diletakkan di bawah kepala sub bagian keuangan, umum dan logistik tapi tak disebutkan. Sementara kepala sub bagian keuangan, umum dan logistik tetap penyebutannya. Begitu pula kepala sub bagian perencanaan dan data, sekarang penyebutannya menjadi perencanaan, data dan informasi. Kata informasi ditambahkan. Terakhir kepala sub bagian teknis, sekarang penyebutannya menjadi teknis penyelenggaraan dan parmas. Kata parmas disebutkan tegas, seperti halnya SDM. Paul dan Kurnia sore itu dilantik bersama 53 orang Aparatur Sipil Negara (ASN) unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan KPU Provinsi Riau dan KPU kabupaten/kota di Riau. Sebagian terutama yang di kabupaten/kota yang tidak memungkinkan ke provinsi, mereka dibolehkan memilih daring melalui jaringan zoom meeting. Bersama mereka, dalam waktu yang hampir sama, ada sebanyak 2.066 orang ASN di KPU seluruh Indonesia yang dilantik. Mereka mengisi jabatan serupa, kepala sub bagian di KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota. Mereka berasal dari golongan kepangkatan penata muda tingkat I (III/b), penata (III/c), dan penata tingkat I (III/d). Pengucapan sumpah dipimpin oleh Sekretaris KPU Provinsi masing-masing, atas nama Sekjen KPU RI, Drs Bernard Dermawan Soetrisno, MSi. Untuk di KPU Provinsi Riau, ada 8 jabatan kepala sub bagian. Sedangkan 47 jabatan lainnya tersebar di 12 KPU kabupaten/kota di Riau. Mulai dari jabatan kepala sub bagian keuangan; kepala sub bagian umum dan logistik; kepala sub bagian teknis penyelenggara; kepala sub bagian partisipasi masyarakat; kepala sub bagian perencanaan; kepala sub bagian data dan informasi; kepala sub bagian sumber daya manusia; dan kepala sub bagian hukum dan pengawasan. Praktis. Pelantikan kemarin. Seluruh jabatan struktural kepala sub bagian di seluruh KPU Povinsi Riau dan KPU kabupaten/kota sudah terisi semua. Hanya menyisakan 2 (dua) jabatan. Yaitu satu jabatan pengawas untuk kepala sub bagian SDM dan hukum di KPU Kabupaten Kepulauan Meranti. Dan satu lagi jabatan administrator untuk sekretaris di KPU Kabupaten Indragiri Hulu yang belum terisi. Posisinya masih dijabat sementara oleh pelaksana tugas (Plt). Sebulan sebelumnya, 4 (empat) jabatan pejabat administrator untuk struktural kepala bagian di KPU Provinsi Riau juga sudah terisi. Empat jabatan itu masing-masing kepala bagian keuangan, umum dan logistik; kepala bagian teknis penyelenggaraan dan pendidikan masyarakat; kepala bagian SDM dan hukum; dan kepala bagian program perencanaan dan data pemilih. Keempatnya mengambil sumpah melalui daring langsung dipimpin Sekjen KPU RI, Drs Bernard Dermawan Soetrisno, MSi. Pengisian dan penyesuaian penamaan jabatan ini menyesuaikan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) yang baru sesuai Peraturan KPU Nomor: 14 Tahun 2020. Melalui Peraturan KPU ini, yang dikuatkan dengan Keptusan KPU RI Nomor 541 tahun 2021, KPU Provinsi Riau ditetapkan menjadi KPU provinsi bertipe A bersama 16 KPU provinsi. Sedangkan 18 KPU provinsi lagi bertipe B. Jika sebelumnya hanya ada 3 (tiga) pejabat struktural kepala bagian, jumlahnya saat ini naik menjadi 4 (empat) pejabat. Begitu pula untuk pejabat struktural kepala sub bagian, sebelumnya ada 6 (enam) pejabat, saat ini jumlahnya menjadi 8 (delapan) pejabat. Bagi kami, dengan pengisian jabatan ini, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota di Riau lainnya pada posisi yang stabil. Meskipun di banyak KPU kabupaten/kota ditemukan kekurangan personil, khususnya pada posisi staf. Tidak meratanya jumlah penempatan personil ASN di setiap kabupaten/kota, salah satu faktornya juga. Bagi kami kondisi itu tak jadi penghalang. Karena tidak hanya dialami oleh KPU saja, institusi-institusi pemerintah lainnya juga mengalami. Terutama sejak moratorium pembatasan penerimaan CPNS. Bahkan, di pemilihan kepala daerah di 9 (sembilan) kabupaten/kota tahun 2021 lalu. Kita sama-sama diuji untuk melaksanakan seluruh tahapan pemilihan di tengah pandemi Covid-19 secara tuntas. Kalau pun ada, tentulah hal yang manusiawi pada setiap iven kolosal, seperti penyelenggaraan pemilu maupun pemilihan ada meningalkan catatan-catatan. Bagi kami catatan seperti itu tetap penting sebagai masukan dan evaluasi untuk perbaikan di tahapan pemilu berikutnya. Untuk saat ini, kekurangan personil di KPU, khususnya di KPU kabupaten/kota cukup terbantu dengan keberadaan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPM). Posisi mereka untuk pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya teknis sangat membantu sekali. Ke depannya, untuk menongkah (menyongsong, red) secara bersama-sama menuju satu titik di tanggal 14 Februari 2024, kami dan kita semua di KPU harus solid. “Tantangan”. Demikian rangkaian kata yang boleh dikatakan mewakili ungkapan kami di sini. Tantangan bagi KPU dalam menjalankan tahapan. Pengalaman di Pemilu serentak 2019 lalu, dan pemilihan kepala daerah di tengah pandemi Covid-19 bukti kami bisa melaluinya. Meskipun iya, kami akui waktu itu cukup berat. Kekurangan personil, dan sebagian ada yang di jabatan pengawas masih dijabat oleh Plt. Namun kami dapat melalui dengan baik. Kuncinya, saat itu kami semua sama-sama memahami. Kami terus membangun komunikasi secara intensif. Baik internal maupun eksternal. Modal kekompakan ini jadi modal sehingga kerja-kerja yang sangat ekstra jadi terasa ringan. Kekompakkan itu kami tunjukkan dari mulai para anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota, dan juga di jajaran kesekretariatan. Ini ke depannya yang harus kita jadikan bekal. Bekal untuk kita semua penyelenggara pemilu dalam menongkah secara bersana-sama membawa tahapan Pemilu serentak 2024 di Riau berjalan aman dan lancar. Semoga.***   Ilham Muhammad Yasir, SH, L.LM, adalah Ketua KPU Provinsi Riau periode 2019 – 2024 & sebagai anggota KPU Provinsi Riau periode 2014 - 2019.   [1] Ilham Muhammad Yasir, SH, L.LM, adalah Ketua KPU Provinsi Riau periode 2019 – 2024 & sebagai anggota periode 2014 - 2019.  


Selengkapnya
281

KPU DAN PENGARUSUTAMAAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

KPU DAN PENGARUSUTAMAAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Nugroho Noto Susanto (Komisioner KPU Riau)  Salah satu tuntutan publik yang dihentakkan pada momentum reformasi adalah agenda keterbukaan informasi publik (KIP). Konteks munculnya pengarusutamaan KIP adalah karena selama era orde baru, keterbukaan informasi publik dipandang tidak menjadi barang penting. Tata kelola pemerintahan tidak dilaksanakan secara transparan, baik proses ataupun hasil atau luaran kebijakan, yang berhubungan dengan urusan publik.  Terbukanya kran demokrasi pasca 1998, disertai pula dengan harapan menguatnya agenda keterbukaan informasi di lembaga publik. Untuk mewujudkan visi tersebut, atas kolaborasi antara masyarakat sipil,  pemerintah dan DPR RI, berhasil ditetapkan berbagai aturan tentang keterbukaan informasi publik. Dalam perkembangannya, terdapat sekurang-kurangnya 50 aturan yang menghendaki keterbukaan informasi publik. (Moh. Dani Pratama Huzaini, 2018) Salah satunya hasil amandemen Undang-undang dasar 1945. Pada UUD 1945 hasil amandemen perubahan kedua telah mengakomodasi subtansi keterbukaan informasi publik. Dalam Pasal 28F UUD 1945, disebut “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.  Dengan demikian, maka informasi publik adalah hak asasi yang harus diberikan kepada rakyat. Barangsiapa yang sengaja menutupi informasi publik bagi rakyat, maka sama saja dengan melanggar konstitusi dasar Republik Indonesia. Tentu saja, dengan adanya jaminan hak asasi manusia di aspek keterbukaan informasi publik, memberi payung hukum yang kuat bagi rakyat.  Secara khusus, telah ditetapkan pula Undang-Undang No.14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. Amanat dari UU tersebut, negara harus membentuk Komisi Informasi yang memiliki tugas dari menyosialisasikan, menyupervisi agenda keterbukaan informasi publik, hingga memediasi sengketa informasi. Merujuk UU 14 tahun 2008, Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. KPU dan KIP Salah satu agenda substansial yang menjadi tugas penyelenggara pemilu, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah mewujudkan penyelenggaraan pemilu secara transparan.  KPU sebagai sebuah lembaga publik non-struktural, memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan informasi kepada publik. Publik di sini adalah setiap warga negara atau badan publik yang berhak atas informasi publik.  Keterbukaan informasi publik dalam kontek pemilu telah diakomodasi dalam undang-undang pemilu No. 7 tahun 2017. Pada pasal 3 UU pemilu tersebut, disebutkan tentang prinsip dari penyelenggaraan pemilu yakni (i) transparan dan (ii) akuntabel. Sedangkan pada pasal 14 huruf C disebutkan KPU berkewajiban menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilu kepada masyarakat.  Kewajiban tersebut juga disematkan pada KPU Provinsi (pasal 17 huruf C), dan KPU Kabupaten/Kota (pasal 20 huruf C). Sebagai bentuk kesungguhan KPU menerapkan prinsip keterbukaan, KPU menerbitkan PKPU No. 8 tahun 2019, tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Dalam Bab I pasal 2 angka 2 huruf g, disebutkan bahwa “dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus memenuhi prinsip terbuka”.   KPU sebagai bagian dari badan publik, telah melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan derajat keterbukaan informasi di keluarga besar KPU. Dalam praktiknya,sesuai amanat UU KIP, terdapat apa yang disebut sebagai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). PPID adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan publik. Secara manual, KPU terbuka atas permintaan layanan informasi publik. KPU juga telah meluncurkan e-PPID KPU RI. Hanya dengan dua atau tiga kali klik di play store bagi pengguna android, sudah dapat mengakses e-PPID KPU RI. Dari layanan e-PPID KPU RI, publik akan dengan mudah memperoleh informasi kepemiluan.  KPU Juga mengembangkan beberapa aspek dari tehnis penyelenggaraan pemilu, berorientasi pada jaminan keterbukaan informasi publik. Salah satu misal, di aspek teknis penyelenggaraan pemilu, ketika dilakukan tahapan rekapitulasi suara, publik diberikan akses untuk mendokumentasikan proses dan hasil rekapitulasi. Hasil rekapitulasi diumumkan di tempat pengumuman seperti kantor desa/Kelurahan. Bahkan hasil rekapituasi tersebut juga dapat difoto oleh publik.  Di samping itu, KPU juga menerapkan beberapa aplikasi seperti aplikasi hitung suara. Aplikasi tersebut dapat dilihat langsung oleh publik melalui komputer atau gawai. Dengan demikian terdapat kontrol publik terhadap proses hitung suara yang memang secara resmi dilakukan secara manual. Meski aplikasi situng tersebut sempat digugat ke Bawaslu, namun Bawaslu memutuskan bahwa aplikasi tersebut justru dipandang sebagai terobosan yang perlu dipertahankan dengan memberikan catatan seperti pentingnya akurasi, dan kecakapan tehnis teknologi.  Atas prakarsa yang dilakukan oleh KPU, Komisi Informasi Pusat RI menganugerahkan penghargaan untuk KPU RI sebagai badan publik non-struktural “terinformatif”. KI Pusat memiliki tiga tingkatan dalam menilai derajat suatu badan publik telah menerapkan layanan informasi publik yaitu cukup informatif, menuju informatif, dan terinformatif. Terinformatif menempati derajat tertinggi.  Khatimah Pada praktiknya, memang belum semua badan publik dapat mengimplementasikan semangat keterbukaan informasi publik. Selain soal visi pimpinan yang barangkali belum semua memiliki frekwensi yang sama, faktor kecakapan dalam mengelola keterbukaan informasi ikut juga berkontribusi. Hal itu juga dirasakan di hampir semua KPU se-Indonesia baik di tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota. Perbedaan kemampuan sumber daya manusia di sekretariat juga menjadi tantangan tersendiri. Hasil evaluasi Indonesian Parliamentary Center (IPC), 2019, belum semua KPU Provinsi menempati tingkat informatif. Beberapa aspek seperti laporan layanan informasi, daftar informasi publik, dan uji akses, mendapat evaluasi dengan catatan yang patut diperhatikan serius.  Apa yang diamanatkan oleh konstitusi dan UU KIP, penting diresapi dan diamalkan oleh pemangku badan publik, termasuk KPU. Pesan nyata yang hendak disampaikan dengan adanya regulasi keterbukaan informasi publik adalah agar pemangku badan publik sungguh-sungguh dalam menjalankan amanah karena rakyat selalu mengawasi.  Dengan penerapan keterbukaan informasi publik, akan meniscayakan berlangsungnya tata kelola pemerintahan yang terbuka, partisipatif, aksesibilitas, dan akuntabel. Dengan adanya KIP tesebut, —merujuk Hendra J. Kede, Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI—maka pameo dulu, “semua tertutup kecuali yang ingin dibuka bos” harus diganti dengan “semua informasi dibuka, kecuali yang dikecualikan oleh aturan”. Semoga! Artikel ini bersumber dari haluan.co


Selengkapnya
127

Membangun Integritas Penyelenggara Pemilihan 2020

Oleh Nugroho Noto Susanto Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan Sumber Daya Manusia KPU Provinsi Riau 2019-2024   Pada 29 Februari 2020, seluruh anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) se-Indonesia dilantik. Dari 270 daerah yang akan menyelenggarakan pemilihan serentak 2020, terdapat 4.239 jumlah Kecamatan, dan 21.195 anggota PPK,   46.746 desa/kelurahan dan 140.238 PPS. Tak terkecuali Anggota PPK terpilih di 9 Kabupaten/Kota se-provinsi Riau yang menyelenggarakan pemilihan 2020. Terdapat 116 Kecamatan dari 9 Kabupaten/Kota se-Riau yang menyelenggarakan pemilihan 2020. Satu kecamatan terdiri 5 anggota PPK, maka terdapat 580 Anggota PPK yang telah dilantik. Rincian jumlah kecamatan tersebut adalah Bengkalis 11 Kecamatan, Dumai 7 Kecamatan, Indragiri Hulu 14 Kecamatan, Kuantan Singingi 15 Kecamatan, Kepulauan Meranti 9 Kecamatan, Pelalawan 12 Kecamatan, Rokan Hilir 18 Kecamatan, Siak 14 Kecamatan, dan Rokan Hulu 16 Kecamatan. Sesuai amanat PKPU 16 tahun 2019 tentang tahapan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, maka PPK akan bekerja selama 9 bulan. Mengingat tahapan pemilihan sudah berjalan, maka PPK yang telah dilantik tidak bisa berleha-leha lagi karena pekerjaan telah menunggu. Anggota PPK yang baru dilantik segera membaca aturan yang terkait pemilihan serentak 2020. Di antara tahapan krusial yang sedang berlangsung saat ini adalah seleksi PPS, Pencalonan perseorangan, dan sosialisasi pemilihan 2020. Yang sangat mendesak adalah pembentukan sekretariat PPK. Untuk mewujudkan kinerja yang baik, PPK dibantu sekretariat PPK yang terdiri seorang sekretaris dan dua staf. Sebenarnya jumlah tersebut masih sangat kurang untuk menopang kinerja PPK. Anggota PPK seyogyanya segera berkoordinasi dengan camat, dan berkonsultasi dengan KPU Kabupaten/Kota karena sesuai Surat KPU N0. 66 tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Seleksi Badan Adhoc Pemilihan serentak 2020, PPK melalui KPU Kabupaten/Kota mengusulkan 3 nama ke Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota untuk ditetapkan 1 sekretaris, dan juga mengusulkan 4 nama untuk ditetapkan 2 staf PPK. Sekretaris dan staf ditetapkan oleh Surat Keputusan Bupati/Walikota, dan dilantik oleh Ketua KPU Kabupaten/Kota. Proses tersebut berlangsung paling lambat 7 hari setelah pelantikan anggota PPK. Artinya maksimal 7 maret 2020 sekretariat PPK sudah harus terbentuk. Untuk menghasilkan pilkada berkualitas dan bermarwah di bumi Lancang Kuning, perlu rasanya disampaikan catatan penting untuk seluruh anggota PPK yang telah dikukuhkan. Secara sederhana, terdapat dua kata yang sangat perlu diperhatikan oleh seluruh anggota PPK yang baru dilantik yaitu menjaga integritas.   Integritas dan Pemilu Integritas berasal dari bahasa Latin, integer, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa inggris menjadi integrity, dan diserap ke bahasa Indonesia menjadi Integritas. Makna dasar dari integer dalam bahasa Inggris adalah wholeness, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “keseluruhan”, “keparipurnaan” atau “kesempurnaan”. Makna integritas tersebut dapat dipahami secara sederhana sebagai terwujudnya suatu konsistensi internal dalam diri, yang merupakan kombinasi antara keyakinan, kata-kata, dan tindakan atau perbuatan. Jika terdapat kesatuan dari tiga matra itu pada diri seseorang, yakni menyatunya antara pikiran, kata, dan tindakan, maka orang tersebut dipandang memiliki integritas.   Upaya untuk mewujudkan suatu demokrasi dan khususnya pemilu atau pemilihan yang berkualitas, maka dalam norma hukum pemilu disematkan subtansi “integritas”. Di antara norma yang tersurat adalah UU Pemilu No. 7 tahun 2017 khususnya tentang asas penyelenggaraan pemilu, UU Pemilihan No. 10 tahun 2016 yang merupakan perubahan atas UU No.8 dan No.1 tahun 2015 tentang pemilihan, Peraturan DKPP No. 2 tahun 2017 tentang kode etik penyelenggara pemilu, dan PKPU No. 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU yang mengikat seluruh anggota KPU dari KPU RI hingga KPPS. Dalam konteks pelaksanaan pemilihan, pasal 2 UU pemilihan No. 1 tahun 2015 menyebut asas pemilihan adalah jujur dan adil. Artinya siapapun penyelenggara pemilu, dari tingkat KPPS hingga KPU RI, pun pengawas pemilu, harus bersikap jujur dan adil dalam menyelenggarakan semua tahapan pemilihan. Khusus anggota PPK, bahkan disebutkan syarat menjadi anggota PPK adalah mempunyai integritas, pribadi yang kuat, jujur dan adil. Dalam menjaga imparsialitas penyelenggara pemilu, syarat utama secara substantif dan administratif adalah tidak pernah menjadi anggota partai politik, atau tim kampanye selama lima tahun terakhir dan dinyatakan dalam surat pernyataan bermaterai. Tidak cukup di situ, saat pelantikan anggota PPK terpilih harus membaca sumpah dan menandatangani pakta integritas. Adanya penguatan norma hukum pemilu tentang esensi integritas bagi penyelenggara pemilu, memberi suatu pesan bahwa penyelenggara pemilu memang tidak bisa bermain-main dengan urusan integritas. Adagium yang populer di masyarakat berbunyi, there is no higher value in our society than integrity (tidak ada nilai tertinggi di masyarakat dari pada integritas) secara nyata disabdakan kepada penyelenggara pemilu bahwa tidak ada yang lebih tinggi dari banyak syarat dan kompetensi sebagai penyelenggara pemilu selain dari pada integritas.   Tantangan Integritas Kalau kita lihat praktik penyelenggaraan pemilu atau pemilihan selama ini, ternyata masih terdapat juga penyelenggara pemilu yang melanggar integritas. Dari data laporan DKPP 2019, tahapan pemilu yang sangat tinggi terjadinya pelanggaran secara berurutan adalah tahapan rekapitulasi perhitungan suara, pemungutan dan perhitungan suara, kampanye, pencalonan, logistik, masa tenang, penetapan perolehan kursi dan calon Terpilih, pemutakhiran data pemilih, dan seleksi badan adhoc. Dari data KPU 2019, terdapat pula beberapa modus pelanggaran dilakukan badan adhoc penyelenggara pemilu di dalam jajaran KPU, baik itu PPK, PPS, ataupun KPPS. Di antara jenis pelanggaran tersebut adalah pencoblosan suarat suara sisa, penggelapan gaji KPPS, memihak kepada peserta pemilu tertentu/tidak netral, terdaftar sebagai pengurus parpol, ikut berkampanye dan memenangkan bagi peserta pemilu/pemilihan, membuka kotak suara tanpa dihadiri saksi dan pengawas TPS, memanipulasi/penggelembungan perolehan suara calon tertentu, dan mencoblos surat suara milik pemilih yang tidak hadir. Di Provinsi Riau pada pemilu 2019, terdapat anggota PPK yang diberhentikan karena terbukti melakukan pelanggaran berupa mengubah hasil rekapitulasi suara. Walaupun jumlahnya sangat kecil dari seluruh jumlah anggota PPK se-provinsi Riau, namun fakta pelanggaran pemilu tetap mengganggu kualitas demokrasi. Merujuk dari daerah lain, pelanggaran kode etik juga terjadi yang berhubungan dengan moralitas. Pelanggaran itu berupa terjadinya hubungan tidak sah penyelenggara pemilu yang telah menikah atau perselingkuhan antara anggota PPK dengan anggota PPK/PPS/KPPS, atau bahkan antara anggota PPK dengan anggota KPU di atasnya. Kasus pelanggaran seperti itu bermuara pada pemberhentian di tingkat apapun penyelenggara pemilu tersebut.   Khatimah Mengapa integritas penting dijaga dan dibangun oleh penyelenggara pemilu? Di antara jawaban yang paling relevan adalah untuk menghasilkan produk pemilu yang berintegritas. Hasil pemilu atau pemilihan yang berintegritas tentu berhubungan positif terhadap lahirnya pemimpin daerah yang berkualitas pula. Bayangkan jika yang terjadi sebaliknya. Tentulah kekacauan yang akan terjadi. Dalam upaya mewujudkan integritas, seorang penyelenggara pemilu bahkan terkadang harus rela mengorbankan hubungan pertemanan. (some time the cost of integrity is the loss of a friend). Tidak sedikit teman atau saudara yang berafiliasi dengan partai politik, atau peserta pemilihan. Begitupun jika terdapat adanya kesamaan organisasi kepentingan atau ormas yang sebelumnya terjalin. Dalam kondisi seperti itu, maka tugas, dan kewajiban sebagai penyelenggara pemilu harus ditempatkan di atas pertemanan. Membangun integritas penyelenggara pemilu berarti menempatkan kebenaran, kejujuran, keadilan, etika, di atas segala-galanya. Kualitas demokrasi dan pemilihan serentak 2020 akan sangat tergantung salah satunya dari bagaimana penyelenggara pemilu melaksanakan pemilihan. Kepada seluruh anggota PPK, dan seluruh penyelenggara pemilihan 2020, helat demokrasi 2020 ini adalah momentum strategis untuk menunjukkan dedikasi terbaik kepada rakyat bahwa pemilihan yang berintegritas adalah sesuatu yang mungkin untuk diwujudkan. Dan mari kita bersungguh-sungguh memastikan bahwa kita adalah bagian tak terpisah dari kisah membangun integritas pada pemilihan 2020.


Selengkapnya
198

PARTISIPASI PEREMPUAN DI PENYELENGGARA PEMILU: PENGALAMAN KPU

Nugroho Noto Susanto (Anggota KPU Riau 2019-2024) (Artikel ini diterbitkan di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi I Januari 2022, hal 30-31) Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2019 adalah pemilu serentak pertama diterapkan di Indonesia. Keserentakan tersebut karena menggabungkan antara pemilihan presiden/wakil presiden, dan pemilihan DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilu tahun 2024 jauh lebih kompleks lagi, karena desain keserentakan tidak hanya di Pemilu tetapi juga Pemilihan (Pilkada). Meski pelaksanaan hari dan bulannya terpisah, namun Pemilu dan Pemilihan dilaksanakan di tahun yang sama. Proyeksi Pemilu (usulan KPU, belum ditetapkan secara resmi) diselenggarakan pada Februari 2024, dan Pemilihan November 2024 (UU No. 10 tahun 2016). Partisipasi selama ini seringkali diartikan dengan kehadiran pemilih di TPS. Indikator yang diukur adalah tingkat kehadiran pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Itu tidak salah, namun dalam kajian politik partisipasi politik memiliki banyak manifestasi. Keikutsertaan dalam pengurus partai politik juga bagian dari partisipasi politik, menjadi bagian pemantau Pemilu juga cermin partisipasi, termasuk di antaranya yang juga tidak kalah penting adalah menjadi penyelenggara Pemilu. Bahkan dalam banyak literatur, maraknya golongan putih yang memilih tidak menggunakan hak suaranya sebagai bentuk protes terhadap ketersediaan kandidat calon pemimpin negara, juga dipandang sebagai partisipasi politik. (Seymour Martin Lipset:1960, Robert Dahl: 1978, Galen A. lrwin:1975) Prof. Miriam Budiarjo (2007) mendefinisikasn partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Herbert McClosky (1970) berpandangan bahwa Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum (The term political participation will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public policy). Dari batasan yang disampaikan Miriam Budiarjo dan Herbert McClosky dapat kita ambil saripati bahwa partisipasi politik membicarakan tentang kehadiran warga secara sadar, dan sukarela dalam isu-isu kebijakan publik.   Kehadiran Perempuan dan Tindakan Afirmatif Salah satu variabel penting dalam studi demokrasi dan partisipasi adalah kehadiran perempuan. Membicarakan partisipasi tanpa membahas partisipasi perempuan tentu seperti makan tanpa garam. Hambar dan tak menumbuhkan selera makan. Agar demokrasi suatu negara tumbuh baik dan semakin baik maka perempuan harus hadir memberikan pengaruhnya. Tentu saja salah satunya adalah kehadiran perempuan di proses Pemilu. Tidak sedikit kesepakatan internasional yang telah dihasilkan yang pada intinya menekankan pentingnya kehadiran perempuan tanpa diskriminasi di ruang publik. Kehadiran perempuan secara suka rela dan tanpa diintimidasi atau dipinggirkan adalah bagian dari perwujudan hak asasi manusia. Beberapa kesepakatan internasional tersebut misalnya: Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women,  Vienna Declaration and Programme of Action, International Covenant on Civil and Political Rights, Convention on the Political Rights of Women  dan sebagainya. Indonesia tentu saja perlu menimbang secara sungguh-sungguh substansi dari kesepakatan internasional tersebut. Kehadiran perempuan dalam proses Pemilu dapat melalui keikutsertaannya sebagai peserta Pemilu atau Pemilihan, sebagai pemilih yang cerdas, sebagai pemantau Pemilu yang mandiri, dan yang tidak kalah penting adalah menjadi penyelenggara Pemilu. Bersyukur pasca reformasi, Indonesia telah melakukan kebijakan tindakan afirmatif (afirmatif action) terhadap keterwakilan perempuan di ruang publik. Sebagian orang masih menyoal tindakan afirmatif itu, termasuk sebagian perempuan. Saya termasuk kelompok yang mendukung tindakan afirmasi ini. Banyak kajian yang telah membentangkan praktik diskriminasi, peminggiran peran perempuan di ruang publik. Ditambah budaya patriarki yang masih kuat di ruang budaya, agama, dan sosial. Akibatnya ruang perempuan menjadi sempit untuk tidak mengatakan tidak ada. Untuk mengejar ketertinggalan capaian kemajuan yang telah dicapai kaum laki-laki, maka tindakan afirmatif diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki. Justru itu, tindakan afirmatif diperlukan untuk mendorong kesempatan yang sama dan dapat diakses secara adil dan setara bagi mereka yang secara historis tidak memiliki kesamaan peluang karena faktor-faktor seperti ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, atau asal kebangsaan. Dialam konstitusi kita, upaya mendorong perwakilan kelompok perempuan berakar pada persamaan hak yang diatur secara tegas di dalam Pasal 28H ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Dalam konteks Pemilu, kehadiran perempuan sebagai penyelenggara Pemilu menjadi penting. Kehadirannya tentu saja tidak ansich untuk memenuhi kebutuhan 30% keterwakilan perempuan. Lebih dari itu, dan justru ini visi utamanya, kehadiran perempuan di penyelenggara Pemilu untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu berlangsung secara berintegritas, adil, jujur, mandiri, profesional dan Transparan sesuai dengan asas dan prinsip Pemilu/Pemilihan.   Terobosan KPU Dalam Tindakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan Tindakan afirmasi yang diberlakukan oleh negara dan KPU dalam konteks keterwakilan Perempuan tercermin dalam komposisi pengurus partai politik, pencalonan, pembentukan Tim Seleksi, dan jumlah anggota KPU dari tingkat Pusat hingga badan adhoc. Tulisan ini hanya berfokus pada aspek tindakan afirmasi pada pembentukan keanggotaan KPU. Dalam pembentukan KPU RI, misalnya terdapat perubahan subtansi norma terkait tindakan afirmasi keterwakilan perempuan pada Tim Seleksi. Mari kita cermati bunyi ayatnya. “Presiden Membentuk Tim Seleksi Calon Anggota” (Undang-Undang No. 22 Tahun 2007), “Presiden membentuk keanggotaan Tim Seleksi yang berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang dengan memperhatikan keterwakilan perempuan” (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011), “Presiden membentuk keanggotaan tim seleksi yang berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang anggota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%” (pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017). Dari sini, tampak bahwa poin keterwakilan perempuan pada anggota Tim Seleksi KPU baru ditulis di UU 15/2011 namun tanpa menyebut jumlah minimal keterwakilan. Baru pada UU 7/2017 disebutkan jumlah minimal keterwakilannya. Dari tiga pengaturan yang tertuang di tiga Undang-undang tersebut, tampak bahwa subtansi keterwakilan perempuan dalam keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kab/Kota telah dinyatakan secara explisit termasuk jumlah minimalnya 30%. Di tahun 2019, KPU RI periode 2017-2022 membuat terobosan lagi terkait tindakan afirmsi keterwakilan perempuan di KPU. Berkaca dari masih belum terpenuhinya angka 30% keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota se-Indonesia, maka KPU RI membuat langkah maju dengan mengubah norma PKPU 7 tahun 2018. Perubahan norma itu tertuang di PKPU No.2 Tahun 2019. Mari kita lihat bunyinya, “Dalam hal tidak terdapat calon anggota KPU Provinsi perempuan yang memenuhi nilai ambang batas untuk memenuhi keterwakilan perempuan dalam keanggotaan KPU Provinsi, calon anggota KPU Provinsi perempuan yang tidak memenuhi ambang batas yang memiliki nilai tertinggi dinyatakan lulus tes tertulis” (Pasal 21 ayat (13) Peraturan Kpu No. 2 Tahun 2019), dan “Penetapan oleh Tim Seleksi (calon anggota yang lulus tes kesehatan dan tes wawancara) dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan” (Pasal 25 ayat (6) Peraturan KPU No. 2 Tahun 2019). Dari pengaturan yang tertuang di Pasal 21 ayat (13) Peraturan Kpu No. 2 Tahun 2019 tersebut tampak sekali terobosannya. Barangkali KPU bercermin dari keterwakilan perempuan di anggota KPU Provinsi yang belum mencapai minimal 30%. Jika dilihat dari data per desember 2021 dari 7 anggota KPU RI, terdapat satu anggota perempuan (14,28%), dari 190 anggota KPU Provinsi se-Indonesia yang eksis terdapat 38 anggota perempuan (20%), dan dari 2570 anggota KPU Kab/Kota se-Indonesia yang eksis terdapat 447 anggota perempuan (17,39%). Salah satu tahapan yang membuat rendahnya keterwakilan perempuan sebagai anggota KPU provinsi adalah banyak calon anggota perempuan yang gugur di tahapan Tes tertulis dengan bantuan komputer (Computer Assisted Test). Karena itu terobosan KPU RI hadir di Pasal 21 ayat 13 dan Pasal 25 ayat 6 Peraturan KPU No. 2 Tahun 2019. Dengan terobosan itu, maka potensi terpilihnya perempuan sebagai anggota KPU Provinsi akan meningkat. Berbanding terbalik dengan kondisi di KPU RI, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, justru keterwakilan perempuan di penyelenggara pemilu KPU yang Adhoc justru lebih tinggi. Di aspek regulasi, tindakan afirmasi keterwakilan perempuan di seleksi badan Adhoc KPU juga tertuang. Di UU No. 7 Tahun 2017 diatur tentang keterwakilan perempuan sebagai berikut: Komposisi keanggotaan PPK memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) (Pasal 52 Ayat 3), Komposisi keanggotaan PPS memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) (Pasal 55 Ayat 3), Komposisi keanggotaan KPPS memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) (Pasal 59 Ayat 4). Pada pemilihan serentak lanjutan tahun 2020, keterwakilan perempuan di badan adhoc cukup menggembirakan (KPU RI, 2021). Jumlah anggota Panitia Pemilihan Kecamatan se-Indonesia, 21.205 orang. Dari jumlah tersebut, terdapat 7.316 anggota PPK perempuan (22%), dan 25.713 anggota PPK laki-laki (78%). Jumlah penyelenggara KPU di tingkat desa/kelurahan pada Pemilihan 2020 sebanyak 140.241 PPS terdiri dari 46.617 Perempuan (33%) dan 92.841 laki-laki (67%). Petugas pemutakhiran data pemilih pada Pemilihan 2020 sebanyak 298.553 orang terdiri 120.216 perempuan (43%), dan 157.746 laki-laki (57%). Sedangkan penyelenggara di TPS yakni KPPS, terdapat 2.092.557 orang terdiri 316.864 perempuan (44%), dan 400.534 laki-laki (56%). Dari data tersebut, keterwakilan perempuan di Penyelenggara Pemilu KPU seperti bentuk Piramida. Di tingkat bawah tampak besar, namun semakin ke atas semakin mengecil. Tentu saja harapannya, penyelenggara Pemilu dari tingkat pusat hingga ke paling bawah komposisi keterwakilan perempuan terpenuhi paling kurang 30%.   Tantangan Perempuan dan Proyeksi Agenda Perubahan Di ruang publik, khususnya di penyelenggara Pemilu, banyak persepsi yang kurang menguntungkan bagi partisipasi perempuan. Perempuan dipandang memiliki beban ganda, ia menjalani fungsi perempuan seperti mengandung, menyusui, dan melahirkan, dan di saat yang sama juga harus berperan di ruang publik. Persepsi ini sering mencuat di publik dan tentu harus dijawab. Problem lain adalah banyak perempuan terkendala dengan izin dari keluarga terutama suami mengingat penyelenggara pemilu harus bekerja penuh waktu. Persepsi lain adalah profesi di bidang politik dianggap sebagai profesi laki-laki. Persepsi ini muncul dari budaya partriarkis yang masih berakar tunjang di masyarakat kita. Ke depan, tantangan perjuangan kaum perempuan tidak sederhana. Selalu ada kompleksitas zaman yang menghadang langkah perjuangan kaum perempuan. Di konteks penyelenggara Pemilu, kaum perempuan harus siap mengambil peran sebagai penyelenggara. Di konteks pembentukan keanggotaan di satuan kerja KPU, terobosan KPU sudah berkemajuan. Tentu saja perempuan harus menyiapkan diri secara lebih matang lagi. Organisasi perempuan perlu kiranya membuat beragam pelatihan dan kegiatan literasi untuk memperkuat kapasitas perempuan di ruang publik. Kaum perempuan juga perlu berjejaring memperkuat barisan. Tantangan persatuan perjuangan ini juga tidak mudah. Beragam latar ideologi atau warna lain dalam perjuangan kaum perempuan, turut membuat konsolidasi perjuangan perempuan tesendat.  Belum lagi bayang-bayang oligarki dari mode ekonomi politik kapitalistik turut berkontribusi terhadap kehadiran perempuan di ruang publik. Tantangan ini harus direspon dengan baik. Kehadiran warga termasuk perempuan di ruang publik adalah tindakan sadar dan sukarela sebagai bentuk tanggungjawab moral terhadap kemanusiaan, bangsa dan negara.


Selengkapnya