KPU DAN PENGARUSUTAMAAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
KPU DAN PENGARUSUTAMAAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
Nugroho Noto Susanto
(Komisioner KPU Riau)
Salah satu tuntutan publik yang dihentakkan pada momentum reformasi adalah agenda keterbukaan informasi publik (KIP). Konteks munculnya pengarusutamaan KIP adalah karena selama era orde baru, keterbukaan informasi publik dipandang tidak menjadi barang penting. Tata kelola pemerintahan tidak dilaksanakan secara transparan, baik proses ataupun hasil atau luaran kebijakan, yang berhubungan dengan urusan publik.
Terbukanya kran demokrasi pasca 1998, disertai pula dengan harapan menguatnya agenda keterbukaan informasi di lembaga publik. Untuk mewujudkan visi tersebut, atas kolaborasi antara masyarakat sipil, pemerintah dan DPR RI, berhasil ditetapkan berbagai aturan tentang keterbukaan informasi publik. Dalam perkembangannya, terdapat sekurang-kurangnya 50 aturan yang menghendaki keterbukaan informasi publik. (Moh. Dani Pratama Huzaini, 2018) Salah satunya hasil amandemen Undang-undang dasar 1945. Pada UUD 1945 hasil amandemen perubahan kedua telah mengakomodasi subtansi keterbukaan informasi publik. Dalam Pasal 28F UUD 1945, disebut “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Dengan demikian, maka informasi publik adalah hak asasi yang harus diberikan kepada rakyat. Barangsiapa yang sengaja menutupi informasi publik bagi rakyat, maka sama saja dengan melanggar konstitusi dasar Republik Indonesia. Tentu saja, dengan adanya jaminan hak asasi manusia di aspek keterbukaan informasi publik, memberi payung hukum yang kuat bagi rakyat.
Secara khusus, telah ditetapkan pula Undang-Undang No.14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. Amanat dari UU tersebut, negara harus membentuk Komisi Informasi yang memiliki tugas dari menyosialisasikan, menyupervisi agenda keterbukaan informasi publik, hingga memediasi sengketa informasi. Merujuk UU 14 tahun 2008, Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
KPU dan KIP
Salah satu agenda substansial yang menjadi tugas penyelenggara pemilu, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah mewujudkan penyelenggaraan pemilu secara transparan. KPU sebagai sebuah lembaga publik non-struktural, memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan informasi kepada publik. Publik di sini adalah setiap warga negara atau badan publik yang berhak atas informasi publik.
Keterbukaan informasi publik dalam kontek pemilu telah diakomodasi dalam undang-undang pemilu No. 7 tahun 2017. Pada pasal 3 UU pemilu tersebut, disebutkan tentang prinsip dari penyelenggaraan pemilu yakni (i) transparan dan (ii) akuntabel. Sedangkan pada pasal 14 huruf C disebutkan KPU berkewajiban menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilu kepada masyarakat. Kewajiban tersebut juga disematkan pada KPU Provinsi (pasal 17 huruf C), dan KPU Kabupaten/Kota (pasal 20 huruf C). Sebagai bentuk kesungguhan KPU menerapkan prinsip keterbukaan, KPU menerbitkan PKPU No. 8 tahun 2019, tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Dalam Bab I pasal 2 angka 2 huruf g, disebutkan bahwa “dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus memenuhi prinsip terbuka”.
KPU sebagai bagian dari badan publik, telah melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan derajat keterbukaan informasi di keluarga besar KPU. Dalam praktiknya,sesuai amanat UU KIP, terdapat apa yang disebut sebagai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). PPID adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan publik. Secara manual, KPU terbuka atas permintaan layanan informasi publik. KPU juga telah meluncurkan e-PPID KPU RI. Hanya dengan dua atau tiga kali klik di play store bagi pengguna android, sudah dapat mengakses e-PPID KPU RI. Dari layanan e-PPID KPU RI, publik akan dengan mudah memperoleh informasi kepemiluan.
KPU Juga mengembangkan beberapa aspek dari tehnis penyelenggaraan pemilu, berorientasi pada jaminan keterbukaan informasi publik. Salah satu misal, di aspek teknis penyelenggaraan pemilu, ketika dilakukan tahapan rekapitulasi suara, publik diberikan akses untuk mendokumentasikan proses dan hasil rekapitulasi. Hasil rekapitulasi diumumkan di tempat pengumuman seperti kantor desa/Kelurahan. Bahkan hasil rekapituasi tersebut juga dapat difoto oleh publik.
Di samping itu, KPU juga menerapkan beberapa aplikasi seperti aplikasi hitung suara. Aplikasi tersebut dapat dilihat langsung oleh publik melalui komputer atau gawai. Dengan demikian terdapat kontrol publik terhadap proses hitung suara yang memang secara resmi dilakukan secara manual. Meski aplikasi situng tersebut sempat digugat ke Bawaslu, namun Bawaslu memutuskan bahwa aplikasi tersebut justru dipandang sebagai terobosan yang perlu dipertahankan dengan memberikan catatan seperti pentingnya akurasi, dan kecakapan tehnis teknologi.
Atas prakarsa yang dilakukan oleh KPU, Komisi Informasi Pusat RI menganugerahkan penghargaan untuk KPU RI sebagai badan publik non-struktural “terinformatif”. KI Pusat memiliki tiga tingkatan dalam menilai derajat suatu badan publik telah menerapkan layanan informasi publik yaitu cukup informatif, menuju informatif, dan terinformatif. Terinformatif menempati derajat tertinggi.
Khatimah
Pada praktiknya, memang belum semua badan publik dapat mengimplementasikan semangat keterbukaan informasi publik. Selain soal visi pimpinan yang barangkali belum semua memiliki frekwensi yang sama, faktor kecakapan dalam mengelola keterbukaan informasi ikut juga berkontribusi. Hal itu juga dirasakan di hampir semua KPU se-Indonesia baik di tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota. Perbedaan kemampuan sumber daya manusia di sekretariat juga menjadi tantangan tersendiri. Hasil evaluasi Indonesian Parliamentary Center (IPC), 2019, belum semua KPU Provinsi menempati tingkat informatif. Beberapa aspek seperti laporan layanan informasi, daftar informasi publik, dan uji akses, mendapat evaluasi dengan catatan yang patut diperhatikan serius.
Apa yang diamanatkan oleh konstitusi dan UU KIP, penting diresapi dan diamalkan oleh pemangku badan publik, termasuk KPU. Pesan nyata yang hendak disampaikan dengan adanya regulasi keterbukaan informasi publik adalah agar pemangku badan publik sungguh-sungguh dalam menjalankan amanah karena rakyat selalu mengawasi.
Dengan penerapan keterbukaan informasi publik, akan meniscayakan berlangsungnya tata kelola pemerintahan yang terbuka, partisipatif, aksesibilitas, dan akuntabel. Dengan adanya KIP tesebut, —merujuk Hendra J. Kede, Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI—maka pameo dulu, “semua tertutup kecuali yang ingin dibuka bos” harus diganti dengan “semua informasi dibuka, kecuali yang dikecualikan oleh aturan”. Semoga!
Artikel ini bersumber dari haluan.co